AREMA NEVER DIE !!!
AREMA NEVER DIE oleh Abdul Muntholib |
AREMA adalah klub sepakbola yang berasal dari Malang. Dari kata tersebut lahirlah AREMANIA sebagai pendukung setianya, dan juga dari kata Arema timbullah idiom-idiom yang sekarang identik dengan Malang dan sekitarnya. Seperti Bakso Arema, Kripik Singkong Arema, Travel Arema dan bahkan Ayas klo diluar Malang menyebut diri sebagai Arema. Seperti yang kita tahu, hari ini nama Arema dah berkibar dimana-mana. Semua orang di Indonesia pasti tau Arema itu apa. Sebagai klub sepak bola yang menjelma menjadi simbol perlawanan kala itu, sekarang Arema menjadi budaya baru, khususnya bagi warga malang dan sekitarnya.
Selama 23 tahun malang melintang dikancah persepakbolaan, dengan segala cobaan dan halangan, kini Arema menjadi besar dan akan semakin besar dimasa mendatang. Sebelum kita bicara betapa besarnya Arema sekarang dan masa datang, ada baiknya jika kita melihat kebelakang saat-saat masa Arema dilahirkan dan berjuang, sehingga kita menjadi menghargai bahwa Arema bukan hanya Juara dan menang seperti saat ini.
Adalah buku berjudul AREMA NEVER DIE, yang ditulis oleh Abdul Muntholib mengulas tetang asal-usul serta siapa saja yang berperan dalam pendirian Arema serta sejarah berdirinya Arema. Buku ini mengulas tuntas sejarah berdirinya Arema serta seluk-beluk perjalanan Arema daritahun 1987 hingga berpindah ke pengelolaan yang baru Agustus 2009. Abdul Muntholib adalah seorang wartawan Radar Malang (jawa pos) yang sampai sekarang meliput serta mengikuti berkembangan Arema sampai saat ini. Buku Arema Never Die bisa menjadi resensi atau sumber rujukan nawak-nawak tentang sejarah berdirinya Arema dan kiprahnya sehingga kita ga jadi suporter yang dangkal yang hanya tau juara dan menang tanpa tau sejarah dan menghargai orang-orang yang berperan didalamnya.
Dalam pembukaan buku Arema Never Die ini, Arema didirikan karena sebuah keinginan yang tak mau di nomer duakan setelah kota besar Surabaya, disinilah awal kata Arema sebagai perlawanan.
Ber awal dari keingingan Mayjend TNI (purn) H. Acub Zainal yang ingin membuat sebuah klub Galatama di Malang, yang akhirnya keinginan itu diwujudkan oleh anaknya yakni Ir. Lucky Adrianda Zainal serta dibantu oleh teman-teman dekatnya, membentuk sebuah tim untuk mewakili kebanggaan masyarakat Malang Raya, yaitu Arema. Dari awal yang penuh kesulitan dipadu keinginan dalam membuat tim yang dikenal, sampai menjadikan Arema salah satu yang disegani oleh klub-klub besar di liga Indonesia. Menjadikan Arema sebagai kebanggan masyarakat Malang Raya. Para pendiri Arema berusaha mati-matian untuk memperkenalkan kepada masyarakat indonesia tentang tim kebanggaan Arek-Arek Malang pada kanca dunia persepak boalaan di nusantara ini.
Stadion Gajayana pada Jaman Hindia Belanda |
Membangun Stadion Gajayana
Jika ada anggapan Stadion Gajayana Malang sekarang ini adalah homebase Persema di Liga Primer Indonesia (LPI) atau menganggap stadion Gajayana ini milik Persema. Nawak juga perlu membaca buku ini, karena buku ini selain mengulas tetang berdirinya Arema, buku ini juga mengulas tentang cerita dibalik Stadion Gajayana.
Dalam buku ini, diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda , Stadion Gajayana dibangun dengan dana puluhan ribu gulden. Pembangunan Stadion Gajayana ini dirangkai dengan pembangunan dua lapangan luar Stadion dan satu buah kolam renang berstandar nasional yang dikenal dengan nama Swembat. Awalnya stadion Gajayana hanya berkapasitas sekitar 5000 penonton(kurang dari separuhnya berada di tribun yang kita kenal sebagai tribun VIP sekarang ini). Stadion Gajayana baru merasakan pemugaran hebat di tahun 1990-1992 seiring dengan penambahan kapasitas stadion menjadi 17.000 penonton.
Pemugaran Stadion ini didanai oleh PT Putra Arema yang dikomandoi Ir Lucky Acub Zaenal atau yang akrab disapa sebagai Sam Ikul. Dana pemugaran stadion totalnya mencapai 3 Miliar rupiah dan hampir seluruhnya berasal dari kantong pribadi Sam Ikul. Sam Ikul melego salah satu rumahnya di Jl Besar Ijen seharga 2 Miliar rupiah sebagai salah satu sumber pendanaan dari PT Putra Arema. Tak cukup dengan itu, kabarnya Sam Ikul melego beberapa mobil pribadinya untuk membantu pemugaran stadion.
Pemugaran dimulai seiring berakhirnya Galatama 1989/1990. Ratusan pekerja(kabarnya mencapai lebih dari 200orang) dikerahkan setiap harinya agar proyek bisa diselesaikan tepat waktu. Semakin lama proyek diselesaikan akan mengakibatkan pembengkakan dana yang tidak perlu. Apalagi dana 3 Miliar rupiah ketika itu sudah lebih dari cukup untuk mendanai Arema selama 3-4 musim kompetisi.
Agar selesai tepat waktu pemugaran stadion ini mendapat dukungan dari banyak pihak baik moril maupun materiil. Nirwan D. Bakrie yang pernah membangun Stadion Sanggraha Pelita Jaya di Lebak Bulus juga memberikan bantuan bagi PT Putra Arema. tak tanggung-tanggung lewat Bakrie & Brothers bantuan diberikan juga dalam bentuk tenaga teknis. Semata-mata untuk memberikan bantuan teknis kepada Sam Ikul yang kurang memiliki pengalaman dalam menangani proyek besar dan sebagai kontraktor khususnya.
Seakan menjawab do'a dan harapan dari Sam Ikul akhirnya stadion yang pernah memiliki salah satu kualitas rumput terbaik seIndonesia di jaman Hindia Belanda ini selesai lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. Bayangan buruk bahwa Arema bakal lebih lama memakai Stadion Brantas Batu bisa dilenyapkan. Dengan adanya stadion yang baru dipugar dan kapasitas yang lebih besar memungkinkan Arema memiliki pendapatan lebih dari sektor tiket penonton.
Di era Galatama selain sponsor dan donatur pendapatan dari tiket penonton sangat diandalkan. Selepas Arema memakai Stadion Gajayana yang baru dipugar harga tiket ketika itu sebesar 2000 rupiah untuk ekonomi dan 3500 rupiah untuk VIP. Dengan jumlah penonton mencapai lebih dari 150ribu orang untuk satu musim Galatama di tahun 1992/1993, Arema bisa memperoleh pendapatan kotor lebih dari 300juta rupiah dalam satu musim kompetisi.
Angka tersebut cukup besar untuk memberi nafas sejenak kepada Arema selama mengarungi kompetisi Galatama sekalipun tidak cukup untuk 'mbandani' pengeluaran klub selama semusimnya. Lewat proyek pemugaran stadion Gajayana ini Arema mendapat kompensasi berupa pengelolaan stadion selama 20 tahun. Katakanlah kerjasama itu dimulai dari tahun 1990 maka semestinya Arema masih bebas memakai stadion tersebut hingga tahun 2010.
Namun tidak sampai akhir kerjasama tersebut Arema terpaksa hengkang untuk menggunakan Stadion Kanjuruhan sebagai homebasenya. Semestinya jika memang kerjasama awalnya menyatakan demikian Arema bisa meraup pendapatan signifikan dari Stadion Gajayana. Apalagi di tahun 2009 pendapatan APBD Malang dari Stadion Gajayana mencapai ratusan juta rupiah dan dapat ditingkatkan menjadi 1-2 Miliar rupiah jika Arema dapat mengelolanya secara penuh.
Meski Arema sampai dengan saat ini masih memakai Stadion Gajayana untuk latihan dan ujicoba, terakhir kali Arema merasakan berkompetisi di Stadion ini adalah di tahun 2007 ketika melakoni Liga Champions Asia dan Copa Indonesia. Untuk level sekelas liga Indonesia Arema terakhir memakainya di awal tahun 2006 melawan PSMS Medan sebagai tuan rumah.
Masa-masa Ketika Arema Masih Bermarkas di Gajayana (foto/wearemania) |
Arema dan Gajayana
Banyak memori indah yang diukir Arema di stadion ini. Arema meraih juara Galatama di tahun 1992/1993 ketika memakai Stadion Gajayana sebagai homebasenya. Itu adalah trophy pertama Arema yang diraih pada kejuaraan resmi. Trophy berikutnya hadir ketika turut serta menjadikan Stadion Gajayana sebagai homebase Arema di Copa Indonesia 2005 dan 2006.
Di era kepemimpinan H. Soesamto sebagai walikota Malang, Stadion Gajayana Malang juga mendapat 'sentuhan' pemugaran dengan penambahan lampu stadion di tahun 1996-1997. Proyek ini memakan biaya 2 Miliar rupiah dan baru selesai ketika Persema menjamu Persipura di tahun 1997. Tiang dan lampu ini sampai sekarang masih digunakan di Stadion Gajayana. Selepas berakhirnya walikota H. Soesamto di tahun 1998 nyaris tidak ada proyek lagi berkaitan dengan Stadion Gajayana.
Di era kepemimpinan walikota Suyitno, Arema dan Aremania beberapa kali melayangkan permintaan untuk pemugaran Stadion untuk penambahan kapasitas penonton. Kapasitas tempat duduk yang sebesar 17ribu tersebut tidak cukup menampung massa dan seringkali penonton meluber hingga sentelban. Di sepanjang kompetisi kondisi ini jamak terjadi ketika Arema bertanding. Untungnya PSSI tidak memberikan sanksi ketika itu karena tiadanya peraturan yang mengatur tentang luberan penonton didalam pertandingan.
Asa sempat menyeruak tatkala walikota berikutnya, Drs. Peni Suparto memberikan janji untuk memperbesar kapasitas stadion dimana kondisi tribun ekonomi yang semula 10trap menjadi 14trap. Perbesaran kapasitas ini memungkinkan Stadion memiliki daya tampung hingga lebih dari 22ribu penonton.
Sayangnya janji tersebut tidak dapat direalisasi dengan alasan sama dengan yang sebelumnya, keterbatasan dana. Sampai adanya Mall Olympic Garden (MOG) yang pembangunannya sepaket dengan pemugaran stadion Gajayana dan penambahan kapasitas tribun hingga diatas 30ribu penonton. Agaknya peran swasta tidak dapat dilepaskan dari pembangunan Stadion Gajayana. Tanpa peran Sam Ikul dan lainnya Stadion ini tidaklah semenarik seperti yang sekarang kita saksikan. Ditunggu kiprah dan sumbangsih Persema dan Ngalamania nantinya untuk melestarikan Stadion Gajayana ini.
Pada akhirnya, buku yang sangat inspiratif ini adalah bacaan wajib bagi sipapun yang mengaku Arema, Aremania dan Aremanita. Karena dengan membaca buku ini kita lebih tau tentang sejarah dan menghargainya. Bukan cuma bisa konvoi-konvoi, atau nyanyi rasis jelek-jelekin supporter kota sebelah.
AREMA NEVER DIE !!!
(dari berbagai sumber)
0 komentar: