MEMPIDANAKAN SUPORTER SEPAKBOLA
Oleh: Ekomaung
Sebelum khalayak ramai mendapatkan info mengenai tewasnya suporter di RSCM, mungkin saya termasuk orang Bandung yang pertama mengetahui kabar tersebut, saya yang kemarin menyaksikan langsung persija VS PERSIB dari tribun pers mendapat kabar dari wartawan Jakarta asal Garut di depan saya bahwa dia mendapat kabar dari informannya yang seorang polisi bahwa ada suporter sepakbola yang tewas di RSCM (kebetulan wartawan tersebut bukanlah wartawan olahraga namun wartawan kriminal yang memang memiliki link di kepolisian, wartawan tersebut hadir di GBK memang hanya untuk menonton saja karena seorang garut yang sangat menggemari PERSIB).
Selama pertandingan
saya memang melihat sekitar ada 4 insiden di tribun VIP dan VVIP, intinya
adalah beberapa kawan bobotoh “kepergok” diantara ratusan jakmania yang hadir,
ciri-ciri mereka memang jamak, yaitu memakai baju bebas/ non oranye, logika
jakmania yang melakukan sweeping pun cukup rasional. Mereka menganggap orang
yang duduk di kelas yang tiketnya mahal dan tidak beratribun maka layak diduga
sebagai bobotoh. Dan untunglah kawan-kawan kita itu duduk di VIP yang
jakmania-nya relatif tidak terlalu beringas, juga karena di “kelas-kelas mahal”
itu polisi dapat segera menjangkau mereka untuk diamankan, entah bagi
bobotoh-bobotoh lain yang kepergok menonton di tribun utara, timur, ataupun
selatan.
Kabar tewasnya suporter itu sengaja tidak saya
sebarluaskan karena bukanlah kabar baik dan menggembirakan meskipun saya yakin
itu bukanlah HOAX karena didapatkan langsung dari sumber utama dan bukanlah
kutipan berita, melalui media sosial, pemberitaan dsb.
Bahkan hingga media online KOMPAS memberitakan
sekitar pukul 20.00, saya pun tetap tak ingin meriah menanggapi hal tersebut
melalui media-media sosial, terlebih menyimak pemberitaan yang mulai lebay dan
mengklaim bahwa korban adalah bobotoh PERSIB serta semakin menyulut kebencian,
padahal belum ada kepastian korban dari pihak bobotoh (meskipun pada akhirnya
semua menyadari bahwa dari pihak manapun korban ini tetap sebuah tragedi yang
sangat tidak lucu dalam dunia persepakbolaan yang seharusnya mengutamakan sisi
hiburan). Secara pribadi saya menganggap rivalitas dalam
sepakbola memang harus ada untuk tetap menjaga atmosfer dan kualitas
kemaskulinan olahraga ini. Namun tentunya rivalitas yang berkonteks. Konteks
rivalitas itu akan saya coba bagi dalam tulisan berikutnya dalam trilogi ini.
Dalam bagian pertama yang penuh keterbatasan
waktu ini, saya ingin membuat kita melihat lebih luas terlebih dahulu sebelum
total membicarakan segala sesuatu terkait bentrokan suporter sepakbola, baik
secara fenomena umum maupun pengalaman empirik yang pernah dialami langsung
oleh penulis maupun beberapa orang kawan.
Sanksi yang diberikan kepada suporter sepak bola
seakan tidak menjamin bahwa kerusuhan dalam sebuah pertandingan di kota yang
bersangkutan akan tiada, bahkan bonek, suporter fanatik Persebaya Surabaya,
dikenal tak hanya sering berbuat ricuh di Kota Pahlawan, namun di kota-kota
lain dimana Persebaya bermain. Lalu adakah solusi untuk “benar-benar” membuat
jera para pelaku kerusuhan tersebut?
Selama ini, yang menjadi rujukan dalam pemberian
sanksi dalam kerusuhan sepak bola di tanah air adalah PSSI. Bentuk sanksinya
pun tidaklah berhubungan dengan hukum positif yang berlaku. Padahal, begitu
banyak hal yang terkait dengan tindak kerusuhan ini adalah nyata-nyata
pelanggaran norma hukum, terutama hukum pidana. Ada beberapa hal yang memenuhi
unsur delik pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang biasa
dilakukan para suporter sepak bola di Indonesia. Ada pula beberapa tindak
pidana kejahatan yang berkaitan langsung dengan terjadinya kerusuhan suporter
sepak bola.
Pertama adalah tindak pidana tentang penghancuran
atau perusakan barang yang diatur dalam Bab XXVII buku kedua KUHP. Mengenai hal
ini, semua dapat kita lihat saat terjadinya kerusuhan sepak bola, baik di dalam
stadion maupun luar stadion. Bukti-buktinya pun jelas dan terekam dalam
berbagai dokumentasi, pembakaran, serta perusakan fasilitas umum dan
kendaraan-kendaraan pribadi menjadi hal yang dapat dipastikan akan selalu
mengikuti saat terjadi kerusuhan sepak bola.
Kedua adalah tindak pidana penganiayaan yang
diatur dalam Bab XX buku kedua KUHP. Tindak pidana yang satu ini akan semakin
nyata saat melibatkan dua kelompok suporter yang berbeda, bahkan aksi-aksi
penganiayaan dalam kerusuhan sepak bola tidak jarang pula harus menelan korban
jiwa, sebagai contoh adalah tewasnya Aremania saat bentrokan dengan Sakeramania saat Arema Malang berhadapan dengan Persekapas Pasuruan beberapa
musim musim lalu di Madiun, ataupun saat seorang suporter Semen Padang harus meregang
nyawa usai dikeroyok sekelompok oknum Jakmania pada musim kompetisi 2001 lalu.
Bahkan, jika kita melihat keluar, betapa kompetisi sepak bola sekelas seri A
Liga Italia pun harus dihentikan sementara waktu akibat tewasnya seorang polisi
di tangan ultras (sebutan bagi suporter garis keras di Italia).
Selain itu, beberapa hal lain yang dilakukan para
suporter dan terjadi sebelum atau sesudah kerusuhan pun dapat pula dijerat
dengan hukum pidana, yaitu saat para oknum suporter mengonsumsi obat-obatan
terlarang untuk membuat mereka lebih “terbang” saat beraksi mendukung tim
kesayangannya. Menenggak minuman keras sebelum pertandingan seakan telah
menjadi ritual rutin bagi sebagian suporter sepak bola, dan efeknya pun cukup
mengerikan. Dalam keadaan mabuk, para suporter ini menjadi sangat agresif dan
mudah melakukan hal-hal yang sulit dikontrol.
Selain tindak kejahatan, bentuk pelanggaran pun
biasa mereka lakukan saat menuju ataupun pulang dari stadion. Yang dimaksud
adalah tindak pidana pelanggaran lalu lintas. Kita akan sangat mudah menjumpai
pemandangan suporter yang mengemudikan motor ugal-ugalan, tidak menggunakan
helm, berboncengan motor lebih dari tiga orang, dll. Maka di mana peran para
penegak hukum saat tindakan-tindakan “khas” suporter sepak bola ini telah
nyata-nyata, termasuk kategori pidana dan kriminal murni?
Tidak pernah kita dengar berita penuntutan secara
konvensional bagi pelaku tindak pidana dalam sebuah pertandingan sepak bola,
yaitu tuntutan jaksa, proses peradilan di pengadilan umum hingga jatuhnya
vonis. Yang sering kita dengar hanyalah sanksi dari PSSI dan sekadar penahanan
sementara terhadap para suporter “badung” untuk kemudian dilepaskan setelah
anggota keluarganya datang ke kantor polisi untuk menebus sang perusuh dengan
sejumlah uang. Sebuah kekeliruan telah terjadi. Kejahatan-kejahatan dan
pelanggaran yang terjadi dalam ranah pertandingan sepak bola dianggap berbeda
cara penanganannya dengan penanganan tindak pidana di luar sepak bola, padahal
kita memiliki hukum acara yang harus dilaksanakan untuk menegakkan hukum
pidana.
Sebenarnya bukan dalam konteks kerusuhan suporter
saja hukum menjadi sebuah omong kosong belaka. Para pemain ataupun ofisial yang
jelas-jelas tertangkap kamera menganiaya wasit tidak pernah dituntut secara
pidana oleh penegak hukum, yang ada sekadar hukuman versi PSSI, yaitu denda dan
larangan bermain bagi si pelaku. Kejahatan di luar lapangan yang berhubungan
dengan sepak bola pun tak mendapat konsekuensi hukum yang jelas. Entah berapa
kali terjadi kasus suap yang melibatkan pejabat teras PSSI. Jika kasus tersebut
berhasil terbongkar, yang terjadi kemudian hanyalah sanksi administratif di
kalangan intern organisasi PSSI itu sendiri, yaitu berupa pemecatan. Padahal
yang namanya suap adalah termasuk kejahatan pidana dan siapa pun pelakunya
haruslah berhadapan dengan hukum.
Sudah saatnya paradigma hukum dalam menyentuh
hal-hal yang berkaitan dengan sepak bola kembali diluruskan bahwa siapa pun
orangnya dan apa pun tindakannya meski dilakukan dalam ranah sepak bola. Jika
itu memenuhi unsur-unsur pidana, hukum harus masuk dan menampakkan wajahnya
sehingga meski kita memiliki PSSI sebagai induk organisasi tertinggi yang
memiliki otoritas tertinggi terhadap penjatuhan sanksi dalam dinamika
persepakbolaan tanah air, namun hukum harus tetap menjadi pandu yang mampu
menyentuh seluruh aspek yang berkaitan dengannya. Masyarakat pun akan mendapat
pembelajaran dan keyakinan bahwa ketertiban dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat, termasuk sepak bola akan terjamin, para pelaku pun akan berpikir
dua kali saat melakukan tindakan yang akan membuatnya berhadapan dengan sanksi
yang tegas, tak hanya denda namun juga hukuman kurungan dan penjara hingga bertahun-tahun.
Penulis berkhidmat dengan akun twitter @ekomaung
Direpost dari simamaung.comhttp://simamaung.com/
0 komentar: