MEMPIDANAKAN SUPORTER SEPAKBOLA

15.57 [Ai] Arema Indie 0 Comments


Oleh: Ekomaung


Sebelum khalayak ramai mendapatkan info mengenai tewasnya suporter di RSCM, mungkin saya termasuk orang Bandung yang pertama mengetahui kabar tersebut, saya yang kemarin menyaksikan langsung persija VS PERSIB dari tribun pers mendapat kabar dari wartawan Jakarta asal Garut di depan saya bahwa dia mendapat kabar dari informannya yang seorang polisi bahwa ada suporter sepakbola yang tewas di RSCM (kebetulan wartawan tersebut bukanlah wartawan olahraga namun wartawan kriminal yang memang memiliki link di kepolisian, wartawan tersebut hadir di GBK memang hanya untuk menonton saja karena seorang garut yang sangat menggemari PERSIB).

Selama pertandingan saya memang melihat sekitar ada 4 insiden di tribun VIP dan VVIP, intinya adalah beberapa kawan bobotoh “kepergok” diantara ratusan jakmania yang hadir, ciri-ciri mereka memang jamak, yaitu memakai baju bebas/ non oranye, logika jakmania yang melakukan sweeping pun cukup rasional. Mereka menganggap orang yang duduk di kelas yang tiketnya mahal dan tidak beratribun maka layak diduga sebagai bobotoh. Dan untunglah kawan-kawan kita itu duduk di VIP yang jakmania-nya relatif tidak terlalu beringas, juga karena di “kelas-kelas mahal” itu polisi dapat segera menjangkau mereka untuk diamankan, entah bagi bobotoh-bobotoh lain yang kepergok menonton di tribun utara, timur, ataupun selatan.

Kabar tewasnya suporter itu sengaja tidak saya sebarluaskan karena bukanlah kabar baik dan menggembirakan meskipun saya yakin itu bukanlah HOAX karena didapatkan langsung dari sumber utama dan bukanlah kutipan berita, melalui media sosial, pemberitaan dsb.

Bahkan hingga media online KOMPAS memberitakan sekitar pukul 20.00, saya pun tetap tak ingin meriah menanggapi hal tersebut melalui media-media sosial, terlebih menyimak pemberitaan yang mulai lebay dan mengklaim bahwa korban adalah bobotoh PERSIB serta semakin menyulut kebencian, padahal belum ada kepastian korban dari pihak bobotoh (meskipun pada akhirnya semua menyadari bahwa dari pihak manapun korban ini tetap sebuah tragedi yang sangat tidak lucu dalam dunia persepakbolaan yang seharusnya mengutamakan sisi hiburan). Secara pribadi saya menganggap rivalitas dalam sepakbola memang harus ada untuk tetap menjaga atmosfer dan kualitas kemaskulinan olahraga ini. Namun tentunya rivalitas yang berkonteks. Konteks rivalitas itu akan saya coba bagi dalam tulisan berikutnya dalam trilogi ini.

Dalam bagian pertama yang penuh keterbatasan waktu ini, saya ingin membuat kita melihat lebih luas terlebih dahulu sebelum total membicarakan segala sesuatu terkait bentrokan suporter sepakbola, baik secara fenomena umum maupun pengalaman empirik yang pernah dialami langsung oleh penulis maupun beberapa orang kawan.

Sanksi yang diberikan kepada suporter sepak bola seakan tidak menjamin bahwa kerusuhan dalam sebuah pertandingan di kota yang bersangkutan akan tiada, bahkan bonek, suporter fanatik Persebaya Surabaya, dikenal tak hanya sering berbuat ricuh di Kota Pahlawan, namun di kota-kota lain dimana Persebaya bermain. Lalu adakah solusi untuk “benar-benar” membuat jera para pelaku kerusuhan tersebut?

Selama ini, yang menjadi rujukan dalam pemberian sanksi dalam kerusuhan sepak bola di tanah air adalah PSSI. Bentuk sanksinya pun tidaklah berhubungan dengan hukum positif yang berlaku. Padahal, begitu banyak hal yang terkait dengan tindak kerusuhan ini adalah nyata-nyata pelanggaran norma hukum, terutama hukum pidana. Ada beberapa hal yang memenuhi unsur delik pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang biasa dilakukan para suporter sepak bola di Indonesia. Ada pula beberapa tindak pidana kejahatan yang berkaitan langsung dengan terjadinya kerusuhan suporter sepak bola.

Pertama adalah tindak pidana tentang penghancuran atau perusakan barang yang diatur dalam Bab XXVII buku kedua KUHP. Mengenai hal ini, semua dapat kita lihat saat terjadinya kerusuhan sepak bola, baik di dalam stadion maupun luar stadion. Bukti-buktinya pun jelas dan terekam dalam berbagai dokumentasi, pembakaran, serta perusakan fasilitas umum dan kendaraan-kendaraan pribadi menjadi hal yang dapat dipastikan akan selalu mengikuti saat terjadi kerusuhan sepak bola.

Kedua adalah tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Bab XX buku kedua KUHP. Tindak pidana yang satu ini akan semakin nyata saat melibatkan dua kelompok suporter yang berbeda, bahkan aksi-aksi penganiayaan dalam kerusuhan sepak bola tidak jarang pula harus menelan korban jiwa, sebagai contoh adalah tewasnya Aremania saat bentrokan dengan Sakeramania saat Arema Malang berhadapan dengan Persekapas Pasuruan beberapa musim musim lalu di Madiun, ataupun saat seorang suporter Semen Padang harus meregang nyawa usai dikeroyok sekelompok oknum Jakmania pada musim kompetisi 2001 lalu. Bahkan, jika kita melihat keluar, betapa kompetisi sepak bola sekelas seri A Liga Italia pun harus dihentikan sementara waktu akibat tewasnya seorang polisi di tangan ultras (sebutan bagi suporter garis keras di Italia).

Selain itu, beberapa hal lain yang dilakukan para suporter dan terjadi sebelum atau sesudah kerusuhan pun dapat pula dijerat dengan hukum pidana, yaitu saat para oknum suporter mengonsumsi obat-obatan terlarang untuk membuat mereka lebih “terbang” saat beraksi mendukung tim kesayangannya. Menenggak minuman keras sebelum pertandingan seakan telah menjadi ritual rutin bagi sebagian suporter sepak bola, dan efeknya pun cukup mengerikan. Dalam keadaan mabuk, para suporter ini menjadi sangat agresif dan mudah melakukan hal-hal yang sulit dikontrol.

Selain tindak kejahatan, bentuk pelanggaran pun biasa mereka lakukan saat menuju ataupun pulang dari stadion. Yang dimaksud adalah tindak pidana pelanggaran lalu lintas. Kita akan sangat mudah menjumpai pemandangan suporter yang mengemudikan motor ugal-ugalan, tidak menggunakan helm, berboncengan motor lebih dari tiga orang, dll. Maka di mana peran para penegak hukum saat tindakan-tindakan “khas” suporter sepak bola ini telah nyata-nyata, termasuk kategori pidana dan kriminal murni?

Tidak pernah kita dengar berita penuntutan secara konvensional bagi pelaku tindak pidana dalam sebuah pertandingan sepak bola, yaitu tuntutan jaksa, proses peradilan di pengadilan umum hingga jatuhnya vonis. Yang sering kita dengar hanyalah sanksi dari PSSI dan sekadar penahanan sementara terhadap para suporter “badung” untuk kemudian dilepaskan setelah anggota keluarganya datang ke kantor polisi untuk menebus sang perusuh dengan sejumlah uang. Sebuah kekeliruan telah terjadi. Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran yang terjadi dalam ranah pertandingan sepak bola dianggap berbeda cara penanganannya dengan penanganan tindak pidana di luar sepak bola, padahal kita memiliki hukum acara yang harus dilaksanakan untuk menegakkan hukum pidana.

Sebenarnya bukan dalam konteks kerusuhan suporter saja hukum menjadi sebuah omong kosong belaka. Para pemain ataupun ofisial yang jelas-jelas tertangkap kamera menganiaya wasit tidak pernah dituntut secara pidana oleh penegak hukum, yang ada sekadar hukuman versi PSSI, yaitu denda dan larangan bermain bagi si pelaku. Kejahatan di luar lapangan yang berhubungan dengan sepak bola pun tak mendapat konsekuensi hukum yang jelas. Entah berapa kali terjadi kasus suap yang melibatkan pejabat teras PSSI. Jika kasus tersebut berhasil terbongkar, yang terjadi kemudian hanyalah sanksi administratif di kalangan intern organisasi PSSI itu sendiri, yaitu berupa pemecatan. Padahal yang namanya suap adalah termasuk kejahatan pidana dan siapa pun pelakunya haruslah berhadapan dengan hukum.

Sudah saatnya paradigma hukum dalam menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan sepak bola kembali diluruskan bahwa siapa pun orangnya dan apa pun tindakannya meski dilakukan dalam ranah sepak bola. Jika itu memenuhi unsur-unsur pidana, hukum harus masuk dan menampakkan wajahnya sehingga meski kita memiliki PSSI sebagai induk organisasi tertinggi yang memiliki otoritas tertinggi terhadap penjatuhan sanksi dalam dinamika persepakbolaan tanah air, namun hukum harus tetap menjadi pandu yang mampu menyentuh seluruh aspek yang berkaitan dengannya. Masyarakat pun akan mendapat pembelajaran dan keyakinan bahwa ketertiban dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk sepak bola akan terjamin, para pelaku pun akan berpikir dua kali saat melakukan tindakan yang akan membuatnya berhadapan dengan sanksi yang tegas, tak hanya denda namun juga hukuman kurungan dan penjara hingga bertahun-tahun.

Penulis berkhidmat dengan akun twitter @ekomaung

0 komentar: